DULU, jelang tahun 1965 hingga 1969an, saya, kakak saya, teman-teman kecil, seusia saya, sering berlomba. Bukan hanya jelang 17 Agustusan, tapi, lomba rutin. Minimal sebulan empat kali.

Biasanya awal bulan, tengah bulan, dan akhir bulan. Masing-masing kami membawa kuas, tas dari kertas, maklum plastik belum ada. Botol kaca, karet busa, atau kaleng bekas mentega. Juga kami membawa kain bekas seukuran sapu tangan.

Semua adalah perlengkapan lomba. Lho, lomba apa itu? Buat mereka yang usianya di atas 60, pasti tahu lomba apa yang akan kami lakulan. Tapi, untuk mereka yang usianya di bawah 60, apalagi yang belum 40 tahun, pasti tidak akan tahu.

"Sudah datang!" begitu biasa Pak RT memberi tahu ibu-ibu di rumah.

Itulah tanda bahwa lomba akan dimulai. Tak menunggu waktu, kami mengambil alat-alat yang dibutuhkan, lalu berlari dengan kencang. Kami meliuk-liuk di gang rumah yang masih berupa tanah. Bila kering, debunya akan ikut berterbangan, dan bila hujan, tanah jadi becek, maka riak-riak tanah dan bekas air hujan yang berwarna coklat, menempel di mana saja.

Begitu keluar dari gang, kami tiba di jalanan beraspal yang menuju ke pasar. Ya namanya Pasar Gembira, ada di kelurahan Guntur, Jakarta Selatan. Belasan bahkan tak jarang puluhan anak sebaya 7-12 tahun dengan perlengkapan yang sama menyeruak di antara ibu-ibu yang akan menuju ke koperasi.

"Tunggu anak-anak!" pekik petugas koperasi.

Ratusan orang-orang dewasa mengantri. Biasanya awal bulan jatah beras, tengah bulan minyak goreng, akhir bulan minyak tanah. Ada juga antrian terigu, gula pasir, dan beberapa kebutuhan pokok lain.

Kupon-kupon yang sebelumnya sudah dibagikan, mereka pegang. Ya, semua barang yang harus mereka ambil dengan cara mengantri, ya, gratis.

Begitu tong pertama selesai, tong digeser ke pinggir, maka kami pun bertarung memeras sisa-sisa minyak tanah atau minyak goreng. Jika beras, gula, atau terigu, kami baru boleh beroperasi, menyapu dengan kuas, mengumpulkannya, setelah seluruh antrian selesai.

Sungguh, kami sangat riang menyambut pembagian jatah koperasi rakyat itu. Jujur, selepas pemberontakan G-30S-PKI, tepatnya awal 1970, koperasi sepi. Model antrian semacam itu tak ada lagi.

Namun, dua bulan ini bayang-bayang masa kecil sekonyong-konyong kembali menyeruak. Antrian ibu-ibu, bapak-bapak, orang-orang dewasa, terjadi lagi. Kelangkaan minyak goreng menjadi penyebabnya.

Bedanya, dulu, seingat saya gratis, sekarang bayar. Dulu, semua memahami keadaan memang sangat sulit. Antrian sering dijadikan sebagai silaturahim.

Dulu, banyak pejabat yang menggunakan sepeda atau jemputan kantor. Banyak pejabat memakai pakaian lusuh. Orang kaya bisa dihitung jari.

Sekarang? Orang kaya luar biasa banyaknya. Bahkan para pejabat tak ragu menggunakan segala kemewahan. Tapi, antrian kembali terjadi. Anehnya, meski harus antri dan berebutan untuk memperoleh minyak goreng, semua tidak gratis. 

Ya, anehnya sudah harus bayar, antri pula...